Hadirnya media sosial seperti Facebook dan Twitter, ternyata mengubah kebiasaan menulis siswa. Apa yang diubah dan mengapa perubahan ini bisa terjadi?
Profesor Abulafia, Sejarahwan dari Gonville dan Cius College, Cambridge berujar jika siswa sekarang ‘tak mengerti’ bagaimana cara menulis. Sebuah fenomena yang dibarengi dengan budaya kurangnya minat baca.
“Apa yang mereka tulis justru seperti pesan singkat dengan bahasa serta ejaan tak masuk akal,” ujarnya.Ia mencontohkan apa yang terjadi dengan Twitter. Microblogging yang menuntut keterbatasan karakter dan tulisan ini, menurutnya sangat berpengaruh dalam budaya menulis siswa.
Hal yang terjadi secara umum adalah penulisan singkatan. Misalkan ‘u’ untuk ‘Anda’ (you) dan penggunaan huruf serta angka yang tak baku: ‘4’ yang bermakna ‘untuk’ (for).
Celakanya budaya ini, yang seyogianya hanya terjadi di media sosial Twitter, menjalar tatkala ujian. Banyak universitas yang harus menyediakan kelas remedial untuk menyesuaikan standar tingkat sarjana.
Di tanah air pun fenomena yang ada juga tak kalah parah. Jangankan singkatan atau tata penulisan yang dikeluhan seperti penjelasan sebelumnya, ABG Indonesia justru hanyut dalam euphoria Alay.
Tak hanya huruf tak lazim, angka pun digunakan. Bahkan, angka dan huruf dikombinasikan. Parahnya, simbol pun turut dicampur aduk menghasilkan tulisan njelimet yang celakanya diagungkan kaum Alay laiknya simbol identitas.
Alay pun kian menggelora. Laman Wikipedia Inggris tak ayal menyediakan definisinya. Apa yang dikhawatirkan Prof Abulafia sejatinya sudah lama terjangkit akut di tanah air. Pertanyaannya kemudian, mengapa pakar pendidikan atau siapa pun itu yang berwenang, tak menggubrisnya sama sekali?
0 komentar
Posting Komentar